Mr. Mind Reader

Kadang aku bingung dengan pemuda itu. Ia selalu terlihat begitu tenang. Soal penampilan, ia tak pernah terlalu banyak menaruh perhatian. Ia hanya mengenakan apa yang dirasa nyaman saja. Persetan dengan pendapat orang lain. Dalam hidupnya, ia yang menjalani dan orang lain hanya melihat dan berpendapat sesuka hati mereka. Persetan dengan mereka.

Pemuda yang baru beberapa kali tak sengaja ku lihat di sebuah kedai kopi saat sore hari menghabiskan sisa waktu sebelum malam tiba. Dia hanya duduk saja dengan secangkir kopi hitam, kata seorang pelayan yang pernah kutanyai. Dan di tiap kali aku melihatnya, dia memang hanya duduk saja. Ia terlihat berpikir telalu banyak. Entahlah, apa yang dipikirkannya.

Suatu sore, aku kembali mengunjungi kedai kopi yang biasa. Di sebuah bangku di sudut ruangan ku lihat dia, pemuda itu. Belum ada cangkir kopi di mejanya, hanya sebuah sketch book. Sesuatu kemudian merasukiku, entah datang dari mana, aku menghampirinya.

“Hai,” sapaku kaku.

Pemuda itu mendongak menatap wajahku. Bentuk wajahnya tirus, hidungnya mancung, dan ia berkacamata. Ia hanya menatapku saja sebagai balasan dari sapaanku.

“Aku boleh duduk di sini?” tanyaku hati-hati.

Ia melihat berkeliling. “Masih banyak tempat yang kosong.”

Aku sedikit kikuk. “Aku nggak boleh duduk di sini, ya?”

Setelah beberapa detik yang terasa lama, pemuda itu akhirnya mengangguk. Aku pun menarik sebuah kursi dan duduk dengan lega.

Ketika pesanan pemuda itu, secangkir kopi hitam, datang, aku memesan secangkir coffee latte.

Sepeninggal pelayan yang tadi mengantarkan pesanan pemuda itu, sambil menunggu pesananku datang, aku memperhatikannya. Ia terlihat begitu fokus dengan coretan yang ditorehnya di atas lembaran sketch book.

“Hobi sketching, ya?” tanyaku pelan.

Pemuda itu hanya bergumam menjawab.

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawakan pesananku.

Aku menyeruput coffee latte-ku perlahan. Sesekali mengecek ponsel, aku pun sesekali mencuri lihat apa yang sedang digambar oleh pemuda yang belum menyentuh cangkir kopinya sedikitpun.

Beberapa menit kemudian pemuda itu baru menutup sketch booknya, meletakkan pensil serta penghapusnya ke dalam tas. Lalu mulai meraih cangkir kopinya. Ia tak menyeruput minumannya seperti yang ku lakukan, melainkan langsung meneguknya seperti meneguk air putih. Aku hanya terheran-heran melihatnya.

“Kenapa?” tanya pemuda itu ketika aku belum saja pulih dari keherananku.

Aku segera meggeleng. Dan aku menggeleng terlalu keras. “Nggak kenapa-kenapa.”

“Heran kenapa aku minumnya kayak gitu?” tanya pemuda itu seolah membaca pikiranku.

Aku mengangguk seperti anak kecil.

“Aku  gak suka minum kopi yang masih panas dan minumnya sedikit-sedikit, mendingan minum pas kopinya udah dingin,” pemuda itu menjawab begitu saja.

 

Pertemuan pertamaku dengan pemuda itu.

Pada sore lain, ketika aku hanya hendak mampir sebentar dan membeli beberapa croissant di kedai kopi yang biasa, aku melihat pemuda itu dari luar melalui dinding kaca kedai. Ia duduk begitu saja, dengan sketch book dan pensil di tangannya. Ia tampak begitu serius. Dan kepulan uap panas dari cangkir kopi hitamnya mulai sedikit.

Aku memasuki kedai sambil melirik pemuda yang selalu duduk di sudut itu. Akhirnya aku memutuskan untuk memesan secangkir coffee latte hanya sekedar sebagai alasan agar aku bisa coba mencari tahu tentang pemuda itu.

“Boleh duduk di sini?” tanyaku setelah memesan dan kemudian menghampiri pemuda itu.

Pemuda itu hanya mendongak saja, sama seperti yang ia lakukan sebelumnya. Lalu mengangguk dan melanjutkan goresannya.

Beberapa menit kemudian pesanan coffee latte-ku tiba. Seperti biasa, aku menyeruputnya sedikit-sedikit. Sesekali aku menengok yang sedang dilakukan pemuda itu dengan sketch book-nya.

Ia meletakkan pensilnya. “Kamu siapa?”

Aku tergagap sebelum menguasai diri untuk menjawab. “Kanes.”

“Kanes… kamu kenapa kok pengen tau banget tentang urusan orang lain?” tanya pemuda itu langsung.

Aku terdiam. Sesungguhnya aku tidak benar-benar tahu apa alasanku untuk mulai mencari tahu tentang pemuda itu. Dan sebelum aku mengucapkan sebuah kata, ku rasanya pemuda itu tak akan mengalihkan matanya dariku.

“Aku penasaran aja. Kamu sering ke kedai ini, begitu juga aku. Aku rasa nggak ada salahnya kalo aku mau tau tentang kamu,” aku akhirnya menjawab. Sekenanya.

Pemuda itu terdiam sejenak lalu membalas, “Bukan alasan yang bagus, tapi lumayanlah….”

Aku hanya mengerutkan kening tak mengerti, lalu menyeruput kembali coffee latte-ku.

“Kamu tau nggak? Tau urusan orang lain dan ikut campur itu nggak ada enaknya sama sekali.”

 

[to be continued]

Leave a comment